Beranda | Artikel
Mengenal Thibbun Nabawi
Sabtu, 13 Desember 2014

PENGERTIAN THIBBUN NABAWI

Ada beberapa pengertian mengenai thibbun nabawi yang didefinisikan oleh ulama di antaranya,

الطب النبوي هو هو كل ما ذكر في القرآن والأحاديث النبوية الصحيحة فيما يتعلق بالطب سواء كان وقاية أم علاجا

1.Thibbun nabawi adalah segala sesuatu yang disebutkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih yang berkaitan dengan kedokteran baik berupa pencegahan (penyakit) atau pengobatan.

الطب النبوي هو مجموع ما ثبت في هدي رسول الله محمد صلى الله عليه وسلم في الطب الذي تطبب به ووصفه لغيره.
2.Thibbun nabawi adalah kumpulan apa shahih dari petunjuk Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kedokteran yang yang beliau berobat dengannya atau untuk mengobati orang lain.

تعريف الطب النبوي: هو طب رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي نطق به ، واقره ، او عمل به وهو طب يقيني وليس طب ظني ، يعالج الجسد والروح والحس.

  1. Definisi thibbun nabawi adalah (metode) pengobatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau ucapkan, beliau tetapkan (akui) beliau amalkan, merupakan pengobatan yang pasti bukan sangkaan, bisa mengobati penyakit jasad, ruh dan indera.

-Misalnya yang beliau ucapkan tentang keutamaan habatus sauda,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الحَبَّةَ السَّوْدَاءَ شِفَاءٌ مِنْ كُلِّ دَاءٍ، إِلَّا مِنَ السَّام

”Sesungguhnya pada habbatussauda’ terdapat obat untuk segala macam penyakit, kecuali kematian” (Muttafaqun ‘alaihi)

-Misalnya yang beliau tetapkan (akui) yaitu kisah sahabat Abu Sa’id Al-Khudri yang meruqyah orang yang terkena gigitan racun kalajengking dengan hanya membaca Al-Fatihah saja. Maka orang tersebut langsung sembuh. Sebagaimana dalam hadits

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ « خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَعَكُمْ »

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para  sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyahkarena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.” Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al-Fatihah. pembesar tersebutpun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan-, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al-Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tersenyum dan berkata, Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah ruqyah? Beliau pun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian.[1]

-misalnya yang beliau amalkan, beliau melakukan hijamah serta menjelaskan beberapa hal berkaitan dengan hijamah.

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallaahu ‘anhu :

أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وأمرني فأعطيت الحجام أجره

“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan menyuruhku untuk memberikan upah kepada ahli bekamnya.”[2]

 

THIBBUN NABAWI MUBAH ATAU SUNNAH?

Selama ini banyak yang mengetahui bahwa thibbun nabawi hukumnya adalah sunnah, bahkan ada sebagian kecil orang yang terlalu berebihan dan menganggap bahwa  thibbun nabawi adalah keharusan yang mutlak, jika tidak melakukannya dan menjadikan sebagai pilihan pertama maka keimanannya dipertanyakan.

Berikut penjelasan bahwa ternyata hukum thibbun nabawi diperselisihkan oleh ulama. Ada yang bependapat hukumnya mubah (bukan sunnah) dan ada yang bependapat hukumnya adalah sunnah. Peselisihan ini bisa jadi karena perbedaan dalam ushul fikh mengenai apakah thibbun nabawi semisal bekam itu adalah perbuatan adat (tradisi saat itu) semata atau memang ada pensyariatannya. Dalam hal ini kita ambil pendapat para ulama mengenai bekam/hijamah. Apakah ia sunnah atau mubah.

 

Pendapat yang menyatakan mubah.

Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

إن الحجامة داوء لا سنة

“Hijamah (bekam) adalah pengobatan, bukan sunnah”[3]

Dalam kesempatan lain beliau berkata,

فأكل العسل مثلاً حث عليه الشارع الحكيم حين قال فيه شفاء للناس والرسول صلى الله عليه وسلم أيضاً كان يحب العسل ولكن هل نتقرب الى الله بشرب العسل ! لا طبعاً
فالذي يقول أن الحجامة سنه (عبادة ) نسأله هل كان الرسول صلى الله عليه وسلم يتقرب إلى الله عز وجل بالحجامة وما الدليل من قوله صلى الله عليه وسلم
“meminum madu –misalnya- syariat menganjurkan diminum karena ada firman Allah “sebagai penyembuh bagi manusia” dan Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai madu akan tetapi apakah kita ber-taqarrub (beribadah) kepada Allah dengan meminum madu? Tentu tidak.

Demikian juga bagi yang mengatakan bahwa bekam adalah sunnah (ibadah), kita tanyakan apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-taqarrub (beribadah) kepada Allah dengan berbekam, apa dalilnya dari perkataan shallallahu ‘alaihi wa sallam?[4]

Pendapat yang menyatakan sunnah jika dibutuhkan (jika sakit)

Dalam fatwa syabakah Islamiyah,
وقد نص الفقهاء على أن الحجامة سنة مستحبة لمن احتاج إليها، ففي الشرح الصغير: وتجوز الحجامة بمعنى تستحب عند الحاجة اليها وقد تجب.

“ulama menegaskan bahwa bekam adalah sunnah yang dianjurkan ketika ada kebutuhan padanya (misalnya sakit). Maka boleh berbekam, maknanya dianjurkan ketika ada kebutuhan, bahkan bisa terkadang wajib”[5]

 

Perkara mubah bisa menjadi ibadah

Terlepas dari ikhtilaf ulama menghukumi, apakah mubah atau sunnah. Maka seandainya kita ambil mubah, maka ia bisa menjadi bernilai pahala karena perkara mubah bisa menjadi pahala sesuai dengan niat atau ia menjadi wasilah untuk ketaatan. Misalnya berbekam agar sembuh sehingga bisa melaksanakan perintah Allah baik hal yang sunnah atau wajib. Sebagaimana tidur yang hukumnya mubah tetapi bisa berpahala.
Mu’aadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata,

أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُو فِي قَوْمَتِي.

“Adapun aku, maka aku tidur dan sholat malam, dan aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana pahala yang aku harapkan dari sholat malamku”[6]
Ataupun bisa menjadi berpahala karena kita cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya mendengar hadits beliau berbekam, kita juga berbekam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad, beliau mengetahui ada hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallami pernah berbekam dan membayar upah satu dinar. Maka beliaupun melakukan hal yang sama. Beliau berkata, “Tidaklah aku menulis suatu hadits melainkan aku telah mengamalkannya, sehingga suatu ketika aku mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijamah (bekam) dan memeberikan upah kepada ahli bekam (Abu Thaybah) satu dinar, maka aku melakukan hijamah dan memberikan kepada ahli bekam satu dinar pula”[7]

 

Salah paham mengenai thibbun nabawi

Sebagian orang salah paham dengan thibbun nabawi. Ada yang sekedar minum habbatus sauda dan minum madu tanpa takaran yang jelas, ia sangka sudah menerapkan thibbun nabawi. Padahal seperti yang sudah dijelaskan bahwa thibun nabawi merupakan suatu metode yang kompleks. Begitu juga dengan sebagian kecil pelaku herbal yang hanya dengan menambahkan madu atau habbatus sauda dalam ramuannya, maka ia klaim bahwa ramuannya adalah thibbun nabawi.

Perlu kita ketahui bahwa konsep thibbun nabawi adalah konsep kedokteran yang kompleks sebagaimana kedokteran yang lain. Dalam thibbun nabawi perlu juga kemampuan mendiagnosa penyakit, meramu bahan dan kadarnya, mengetahui dosis obat dan lain-lain

 

DOKTER, AHLI HERBAL, AHLI THIBBUN NABAWI SAMA BAIKNYA ASALKAN AHLI, BERILMU DAN BERPENGALAMAN

Sebagian orang bingung ketika berobat, ada yang menyarankan ke dokter atau ke ahli herbal atau harus ngotot pakai thibun nabawi. Kebingungan bertambah ketika ada berita kalau ke dokter nanti dikasi obat kimia yang berbahaya, belum lagi metodenya kebanyakan dari orang kafir. Begitu juga dengan herbal, ada info nanti herbalnya palsu, tidak terstandar, dicampur “obat dewa” kortikosteroid, dan bisa jadi ahli herbalnya jadi-jadian, baru pelatihan  satu dua kali udah buka praktek, apa ada pengalaman mendiagnosis? Begitu juga dengan info thibbun nabawi.  Bisa jadi orangnya belum menguasai penuh, apalagi harus ada unsur keimanan baru sembuh, misalnya hanya baca Al-Fatihah bisa sembuh dari kalajengking. Belum lagi sebagian kecil kalangan yang tidak bertanggung jawab memasukkan semua metode ke dalam thibbun nabawi, padahal itu bukan thibbun nabawi (misalnya ramuan tertentu).

Jadi pilih yang mana? Ke mana kita harus berobat

 

Semuanya baik asalkan Ahli, Berilmu Dan Berpengalaman

Dokter, ahli herbal  dan hali thibbun nawabi sama baiknya asalkan pengobatan dilakukan oleh ahlinya. Untuk dokter, maka mereka sudah ada pendidikan resmi, bertahap dan diterapkan di semua negara dengan standar yang hampir sama. Mereka sudah belajar dan diuji apakah sudah layak untuk melakukan pengobatan atau tidak.

Sedangkan untuk herbalis, sampai sekarang belum ada resmi dan diakui oleh pemerintah, misalnya sekolah herbal atau perguruan tinggi dengan jurusan herbal. Dengan kurikulum terstandar dan teruji. Inilah yang membuat herbal agak kurang diminati oleh orang. Akan tetapi cukup banyak kita temukan herbalis yang benar-benar pengalaman, sudah belajar dengan waktu yang cukup lama walapun tidak formal dan sudah berpengalaman. Untuk herbalis seperti ini, baik juga untuk pengobatan, bahkan ada metode pengobatan yang belum ditemukan dalam kedokteran modern ternyata ada metode pengobatannya oleh herbalis terpercaya. Begitu juga dengan ahli thibbun nabawi.

 

Demikian jugalah yang ditetapkan oleh agama Islam yang mulia ini. Praktek kedokteran harus dilakukan oleh ahlinya dan sudah berpengalaman

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

 

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”[8]

 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,

أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ، وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له

 

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.”[9]

 

Ulama sekaligus dokter terkenal di zamannya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,

فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل، فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة

 

“Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya[10]

 

Managemen terapi harus sesuai dosis dan indikasi

Demikian juga dengan obat yang digunakan, haruslah seorang dokter atau herbalis tahu benar obat dan herbal tersebut, bagaimana indikasinya, untuk penyakit apa (tentunya ia harus mampu mendiagnosis), tahu campurannya, tahu efek sampingnya dan sebagainya,

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

 

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[11]

 

HARUSKAH KEDOKTERAN MODERN DAN THIBBUN NABAWI DIPERTENTANGKAN?

 

Yang mendorong kami mengangkat tema ini adalah kami menemukan langsung beberapa orang yang salah paham mengenai pengobatan khususnya thibbun nabawi dan kedokteran barat modern. Kesalahpahaman tersebut berdampak timbul angapan bahwa kedokteran barat modern bertentangan semua dengan thibbun nabawi, sikap anti total terhadap pengobatan barat modern, kemudian jika memilih pengobatan selain thibbun nabawi berarti tidak cinta kepada sunnah serta dipertanyakan keislamannya. Padahal kedokteran barat modern bisa dikombinasikan dengan thibbun nabawi atau dipakai bersamaan.  Dan juga ada beberapa tulisan-tulisan mengenai hal ini yang menyebar melalui dunia nyata dan dunia maya. Oleh karena itu, dengan mengharap petunjuk dari Allah Ta’ala kami mencoba mengangkat tema ini.

 

Contoh kesalahpahaman

Salah satunya yaitu mengangap bahwa jika sakit seseorang harus bahkan wajib berobat dengan thibbun nabawi, kemudian ditambah lagi dengan adanya anggapan yang kurang benar mengenai kedokteran modern misalnya,

– Berasal dari orang kafir

– Menggunakan bahan kimia yang HANYA berbahaya bagi tubuh

-Jika tidak menggunakan pengobatan nabawi berarti tidak memilih pengobatan nabawi dan tidak mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaii wa sallam.

 

Berikut contoh yang kami temui langsung dengan adanya kesalahpahaman tersebut.

Contoh 1

Seorang senior kami penuntut ilmu agama [sekarang beliau adalah pengasuh situs islam yang cukup terkenal], ia sudah terkena demam cukup tinggi selama tiga hari, di tambah batuk dan pilek. Tetapi beliau tidak mau mengkonsumsi obat-obat kimia dari kedokteran barat, apalagi konsultasi ke dokter. Beliau hanya mengkomsumsi madu dan habbatus sauda selama sakit, akan tetapi qaddarullah, Allah belum berkehendak memberikan kesembuhan kepadanya, kemudian ustadz kami menanyakan kepada beliau kenapa tidak periksa ke dokter. Saya [penulis] juga sempat berdiskusi dengan beliau, saya berkata, mengapa tidak dikombinasi saja pengobatannya minum obat kedokteran barat dengan minum madu dan habbatus sauda. Karena demam tinggi jika tidak diobati akan berdampak cukup serius bagi tubuh. Dengan mengkonsumsi obat penurun panas sederhana seperti paracetamol maka demam tubuh bisa turun dan kondisi tubuh bisa lebih stabil untuk melakukan upaya peyembuhan sendiri melalui imunitas tubuh.

 

Contoh 2

Ada seseorang yang berkata kepada saya [penulis] ketika membicarakan tentang diare, ia mengatakan jika seorang anak diare, tidak perlu dibawa ke dokter, cukup diberi campuran air minum plus madu maka diarenya bisa sembuh. Ia membuktikan bahwa anaknya sembuh dengan terapi tersebut. Kemudian ia berkata, jika di bawa ke dokter nanti malah di infus seperti anak temannya, anaknya kesakitan disuntik infus kemudian butuh biaya juga buat infus.

 

Menngenai hal ini saya ingin menjelaskan bahwa dalam ilmu kedokteran modern, anak diare dan mengalami dehidrasi  tidak langsung dipasang infus akan tetapi diterapi sesuai dengan tingkat dehidrasinya. Dalam kedokteran modern dehidrasi diare ada tiga derajat berdasarkan gejalanya:

1 . tanpa dehidrasi [kehilangan cairan <5% Berat badan]

  1. dehidrasi ringan sedang [kehilangan cairan 5%-10% Berat badan]
  2. dehidrasi berat [kehilangan cairan >10% Berat badan]

[lihat Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak hal. 50, IDAI, 2004]

 

Untuk terapinya, diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan sedang diterapi dengan cairan oral, yaitu diberi minum seperti biasa [jika masih bisa minum] dengan menggunakan ukuran tertentu khususnya setelah diare dan muntah. Dan terapi dengan air minum plus madu adalah terapi yang tepat dalam kasus ini.

 

Akan tetapi pada kasus dehidrasi berat pada anak, terlebih lagi jika anak muntah-muntah dan  tidak bisa minum karena pengaruh penyakitnya maka jalan terakhir adalah penggantian cairan melalui infus. Karena dehidrasi berat pada anak cukup berbahaya jika dibiarkan lama, bisa menyebabkan kematian, terlebih lagi pada anak yang umurnya masih beberapa bulan.

 

Maka yang perlu kami sorot dalam kasus ini adalah, sikap anti total terhadap kedokteran barat modern dan seolah-olah kedokteran barat itu bertentangan semuanya dengan thibbun nabawi.

 

Memperbaiki kesalahpahaman

Kami mencoba memperbaiki kesalahpahaman tersebut.

  1. Kedokteran modern berasal dari barat

anggapan semakin kuat dengan orang barat yang notabenenya kafir pasti meinginkan kehancuran bagi umat islam dan ada makar ingin menggantikan pengobatan nabawi pada umat islam. Maka hal ini terlalu jauh berpikir ke arah sana.

 

Perlu diketahui bahwa kedokteran barat modern yang sekarang merupakan pegembangan dari kedokteran yang dahulunya dikembangkan dan ditemukan oleh orang Islam dan para tabib cendikiawan muslim yaitu disaat Islam mencapai puncak kejayaannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan di saat itu seperti kejayaan saat dinasti Abbasiyah. Tehnik pengobatan yang dkembangkan oleh tabib cendikiawan muslim bahkan hampir dipakai di seluruh dunia. Dan banyak dokter dan tabib dari negara lain yang datang belajar kepada tabib muslim saat itu.

 

Kemudian di saat dinasti Abbasiyah runtuh, maka orang-orang kafir yang menggulingkan dinasti Abbasiyah mengambil semua ilmu dan menguasai perpustakaan sumber ilmu. Kemudian mereka orang-orang kafir berlomba-lomba mengklaim diri mereka dan mengumumkan kepada dunia bahwa mereka sebagai penemu teori dan ilmu pengetahuan di saat itu, padahal tidak sedikit dari mereka yang hanya mencontoh total penemuan ilmu pengetahuan yang sudah ditemukan sebelumnya oleh cendikiawan muslim. Termasuk dalam hal ini ilmu kedokteran. Sehingga tidak benar sepenuhnya kedokteran barat adalah hasil usaha mereka dan berasal dari orang kafir barat.

 

Kita bisa membaca sejarah bagaimana tabib cendikiawan muslim dahulunya dengan kitab-kitab pedoman kedokteran karangan mereka dan buku-buku mereka bahkan ada yang menjadi pegangan kedokteran barat sampai saat ini. Sebutlah tabib muslim seperti Muhammad bin Zakaria Al-Razi  di barat dikenal dengan Razes,  ahli bedah Al-Zahrawi dikenal dengan Abulcasis, Ibnu Rusdy atau Averroes, Ibnu El-Nafis,  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan masih banyak yang lainnya.

 

Kemudian walaupun pengembangan selanjutnya dilakukan oleh ilmuan barat yang notabenenya kafir, maka kita tidak semata-mata langsung berpikiran negatif dan tidak berlaku adil kepada mereka. Jika memang ilmu kedokteran tersebut bermanfaat dan benar maka kita perlu juga mempelajarinya dan bisa menggunakannya. Sebagaimana fasilitas saat ini seperti mobil, kereta, pesawat dan alat-alat elektronik lainnya. Kita tetap harus adil dalam menyikapi hal ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” [Al-Mumtahah: 8]

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir  As-Sa’diy rahimahullah,

لا ينهاكم الله عن البر والصلة، والمكافأة بالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم، حيث كانوا بحال لم ينتصبوا لقتالكم في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم في هذه الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik,  baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [Taisir Karimir Rahmah hal. 819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424 H]

  1. Menggunakan bahan kimia yang HANYA berbahaya bagi tubuh

Memang obat-obat kedokteran barat modern menggunakan bahan kimia. Tetapi bahan kimia yang digunakan sudah diteliti dan sudah diatur dosisnya agar sesuai dengan terapi yang diinginkan. Dan ini juga berlaku pada beberapa obat-obat alami dan thibbun nabawi, jika dosis habbatus sauda berlebihan dikonsumsi maka akan berefek negatif bagi tubuh karena habbatus sauda mengandung bahan aktif seperti thymoquinone (TQ), dithymouinone (DTQ), thymohydroquimone (THQ) dan thymol (THY).

 

Dalam kedokteran barat modern dikenal ungkapan,

“ All substances are poison. There is none that is not poison, the right dose and indication deferentiate a poison and a remedy”

 

“semua zat adalah [berpotensi menjadi] racun. Tidak ada yang tidak[berpotensi menjadi] racun. Dosis dan indikasi yang tepat membedakannya apakah ia racun atau obat”

[toksikologi hal. 4, Bag Farmakologi dan Toksikologi UGM, 2006]

 

Oleh karena itu, kedokteran modern barat dalam teorinya tidak gegabah begitu saja dalam memberikan terapi obat-obatan kimia. Tetapi sesuai dengan dosis dan indikasi pengobatan. Jika penyakit dibiarkan dan lebih berbahaya, maka lebih baik memkonsumsi obat bahan kimia yang walaupun juga asalnya berbahaya tetapi bisa menyembuhkan dengan dosis yang tepat. Begitu juga dengan operasi pembedahan, dilakukan sesuatu yang berbahaya bagi tubuh “merusaknya” dengan menyayat dan membelah, tetapi ini demi kesembuhan. Prinsip ini diajarkan dalam Islam seusai dengan kaidah fiqhiyah,

 

 

إذا تعارض ضرران دفع أخفهما

 

” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “

 

Dan jika kita kembali ke pengertian zat kimia, maka zat kimia itu ada yang alami dan ada yang buatan. Obat-obatan pada kedokteran modern juga ada yang menggunakan bahan kimia alami. Begitu juga dengan bahan thibbun nabawi seperti habbatus sauda juga mengandung zat kimia aktif seperti thymoquinone (TQ), dithymouinone (DTQ), thymohydroquimone (THQ) dan thymol (THY) yang merupakan zat aktif. Zat kimia aktif bisa lebih berbahaya jika mencapai dosis tertentu. Sehingga perlu juga dilakukan penelitian mengenai dosis dan indikasinya atau pengobatan dengan habbatus sauda di lakukan oleh ahlinya yang tahu metode pengobatan dan berpengalaman. Kita percaya benar bahwa habbatus sauda adalah obat segala penyakit, tetapi orang yang meramu dan melakukan pengobatannya juga harus ahli. Sebagaimana pedang yang sangat tajam, tetapi untuk berfungsi dengan baik saat peperangan misalnya perlu tangan terlatih yang menggunakannya.

 

 

  1. Jika tidak menggunakan pengobatan nabawi berarti tidak memilih pengobatan nabawi dan tidak mengikuti sunnah

Ini adalah pandangan kaku sebagian kecil saudara kita, perlu diketahui hukum asal berobat adalah mubah karena ini adalah masalah dunia dan tidak berkaitan dengan ibadah. Sesuai dengan kaidah fiqhiyah,

 

الأصل في الأسياء الإباحة

“Hukum asal sesuatu [perkara dunia] adalah mubah”

 

Begitu juga dengan thibbun nabawi, akan tetapi jika bisa mendapat pahala jika melakukan thibbun nabawi atas dasar kecintaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena perkara mubah bisa menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Selaras dengan kaidah fiqhiyah,

 

الوسائل لها أحكام المقاصد

 

“hukum wasilah [perkara mubah] sesuai dengan hukum tujuan”

Oleh karena itu seseorang boleh berobat dengan thibbun nabawi, boleh juga tidak dan jika ia tidak menggunakan thibbun nabawi ia tidak berdosa dan tidak tercela. Ia menjadi tercela jika tidak beriman dan tidak percaya keutamaan thibbun nabawi. Misalnya tidak percaya, bahwa air zam-zam itu khasiatnya sesuai hajat peminumnya, tidak percaya bahwa madu itu penyembuh bagi manusia [syifaa’un linnaas]. Tidak percaya bahwa habbatus sauda adalah obat segala penyakit dan lain-lain. Karena dalil-dalil tersebut sahih.

Rasulullah Rasulullah shalallahu ‘alaii wa sallam tidak diutus menjadi ahli pengobatan

Bisa kita lihat dalam kisah hadist berikut,

 

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ

 

“Dari Sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuh beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” [HR. Abu Dawud no.2072]

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ramuan obat yang sebaiknya diminum, akan tetapi beliau tidak meraciknya sendiri tetapi meminta sahabat Sa’ad radhiallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kalidah sebagai seorang tabib. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tahu ramuan obat secara global saja dan Al-Harits bin Kalidah sebagai tabib mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi dan indikasinya.

 

Jadi pengobatan yang diberi petunjuk oleh Islam dalam thibbun nabawi bukan satu-satunya cara untuk berikhtiar mencapai kesembuhan, metode pengobatan lainnya juga bisa digunakan untuk mencapai kesembuhan atas izin Allah Ta’ala. Terlebih lagi jika pengobatan sudah teruji dan terbukti melalui penelitian dan eksperimen, artinya lebih banyak yang sembuh menggunakannya dari pada yang tidak sembuh. Pengobatan lainnya seperti kedokteran cina, kedokteran Yunani dan termasuk kedokteran barat modern saat ini.

 

Ada yang tidak sembuh dengan thibbun nabawi

Mengapa bisa tidak sembuh? Padahal jelas thibbun nabawi bahwa obat bagi segala macam penyakit, penyembuh bagi manusia. Maka jawabannya cukup panjang jika dijabarkan, namum di sini kita bahas beberapa aspek saja. semoga di lain kesempatan kita bisa membahasnya dengan panjang lebar.

 

Salah satu penyebab tidak sembuh adalah kurang tepat dalam:

-mendiagnosa penyakit

-memilih obat

-menggunakan dosis obat

-menghindari berbagai pantangan yang dapat menghambat kerja atau berkebalikan kerjanya dengan obat

 

Sehingga walaupun sudah pasti habbatus sauda adalah obat bagi segala macam penyakit dan madu adalah penyembuh bagi manusia [syifaa’un linnaas], akan tetapi ini masih bahannya saja, perlu kemampuan lagi untuk tepat dalam mendignosis penyakit, memilih obat, menggunakan dosis obat, meraciknya dan mengkombinasi dengan obat yang lainnya. Sehingga untuk lebih efektif pengobatannya lebih baik berkonsultasi kepada ahlinya atau tabib.

 

Sementara apa yang diterapkan pada kasus  contoh 1 yang kami sebutkan di atas, hanya mengkonsumsi habbatus sauda dan madu secara biasa  [asal-asalan] dan dilakukan secara mandiri tanpa tahu apa penyakitnya, bagaimana dosisnya dan bagaimana racikannya. Ini juga yang dilakukan sebagian kecil saudara kita.

 

Contoh hadits tentang demam

Dari nafi’, dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عن نافع، عن ابن عمر، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إنما الحمى أو شدة من فيح جهنم، فأبردوها بالماء»

Sesungguhnya demam atau demam yang sangat adalah sebagian dari aroma neraka jahannam; maka dinginkanlah ia dengan air”. [mutafaqun alaihi]

Dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah,

وقد أشكل هذا الحديث على كثير من جهلة الأطباء، ورأوه منافيا لدواء الحمى وعلاجها، ونحن نبين بحول الله وقوته وجهه وفقهه، فنقول: «خطاب النبي صلى الله عليه وسلم نوعان: عام لأهل الأرض، وخاص ببعضهم، فالأول «كعامة خطابه، والثاني: كقوله: «لا تستقبلوا القبلة بغائط» . ولا بول، ولا تسدبروها، ولكن شرقوا، أو غربوا» «2» ، فهذا ليس بخطاب لأهل المشرق والمغرب ولا العراق، ولكن لأهل المدينة وما على سمتها، كالشام وغيرها. وكذلك قوله: «ما بين المشرق والمغرب قبلة» » .وإذا عرف هذا، فخطابه في هذا الحديث خاص بأهل الحجاز، وما والاهم، إذ كان أكثر الحميات التي تعرض لهم من نوع الحمى اليومية العرضية الحادثة عن شدة حرارة الشمس وهذه ينفعها الماء البارد شربا واغتسالا

“Hadits ini menimbulkan banyak masalah bagi dokter yang bodoh, yang memandangnya sabagai peniadaan pengobatan bagi penyakit demam dan pencegahannya. Kami akan menjelaskan -dengan daya dan kekuatan Allah- segi dan maknanya.

Maka kami katakan: Seruan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam ada dua macam:

yang umum bagi penduduk bumi

dan yang khusus bagi sebagian mereka.

yang pertama misalnya seruan baliau pada umumnya.

Dan yang kedua seperti ucapan beliau:”Janganlah kamu menghadap kiblat dengan tahi dan air kencing. Dan jangan pula kamu membelakanginya; akan tetapi menghadaplahh ke timur atau ke barat”.Ini bukanlah seruan kepada penduduk timur atau penduduk barat, juga bukan penduduk Irak. Tetapi ia adalah seruan kepada pendudukk Madinah dan kawasan yang serupa dengannya seperti syiria dan yang  lain. Juga ucapan baliau: “Apa yang ada diantara  timur dan barat adalah kiblat”.Apabila yang demikian diketahui, maka seruan beliau didalam hadits ini adalah khusus bagi penduduk Hijaz dan siapa yang ada di sekitar mereka, sebab kebanyakan demam yang menyerang mereka dari jenis demam matahari dan aksidental yang terjadi karena terik sinar matahari. Dan ini dapat diatasi dengan air yang dingin, baik minum atau pun mandi. [Tibbun Nabawi hal 20, maktabah Ats-Tsaqafiy, Koiro, Tahqiq Dr. Hamid Muhammad Ath-Thohir]

 Ringkasnya penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa perintah tersebut khusus untuk penduduk Hijaz dan disekitar mereka karena umumnya penyebab demam di sana akibat sengatan matahari yang sangat panas.

catatan

dalam ilmu kedokteran mungkin kasus yang digambarkan dalam hadits adalah kasus sunburn atau luka bakar matahari yang sudah kita ketahui semua, gejala-gejalanya mengalami demam, panas-dingin, dan kelemahan dan bahkan pada saat yang langka bisa menjadi syok (ditandai dengan tekanan darah yang sangat rendah, pusing, dan sangat lemah).

Sedangkan untuk terapinya:

-Kompres air dingin bisa menyejukkan kulit yang terbakar

-pelembab kulit

-Salep atau lotion mengandung anestesi local (misalnya, benzocaine)

-Tablet kortikosteroid juga bisa membantu meringankan peradangan tetapi digunakan hanya untuk luka bakar yang sangat serius.

– Krim antibiotik untuk luka bakar khusus diperlukan hanya untuk lepuhan berat.

 

Oleh karenanya terapinya sejalan dengan kedokteran modern [Barat]. Kemudian jika demam adalah demam dengan suhu tinggi mungkin akibat penyakit kemudian diberikan air, bahkan ada yang bilang bila perlu dimandikan, maka ini bisa  berbahaya bagi pasien.

Demikian semoga bermanfaat

@Markaz YPIA, Yogyakarta Tercinta

Penyusun:   Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

Add Pin BB www.muslimafiyah.com kelima 51E3D42D

 

 

 

[1] HR. Bukhari dan Muslim no

[2] Mukhtashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah, shahih

[3] Syarh Shahih Bukhari, sumber: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=10279

[4]Sumber:  http://www.uaetd.com/vb/showthread.php?t=13624&page=59

[5]Sumber:  http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=28338

[6] HR Al-Bukhari no 6923 dan Muslim no 1733

[7] Ibnul Jauzi menyebutkannya dalam Manaqib Ahmad, hal : 232

[8] HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang  lain, hadits hasan no. 54  kitab Bahjah Qulub Al-Abrar

[9] Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H

[10] Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro

[11] Fathul Baari  10/169-170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/mengenal-thibbun-nabawi.html